Pertukaran sastra antar etnis Tionghoa dan etnis lain di Nusantara telah berlangsung sejak dahulu kala, dan ini merupakan fakta yang tak dapat kita pungkiri. Dalam tulisan ini, yang diutarakan adalah pertukaran budaya dalam beberapa tahun menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto.
Saya mulai masuk dunia sastra Indonesia pada awal tahun 1996 setelah mengundurkan diri dari dunia bisnis. Ketika itu, bahasa Mandarin masih dilarang, sedangkan Penulis Yin-Hua (Tionghoa Indonesia) belum berdiri, dan para sastrawan keturunan Tionghoa masih dalam keadaan was-was dan bertindak hati-hati.
Ketika itu, saya merasa perlunya memperkenalkan budaya Tionghoa kepada masyarakat Indonesia. Berhubung bidang saya adalah sastra dan budaya, sehingga saya memulai dengan menerjemahkan karya sastra. Teringat saya pada Prof.Zhou Nanjing, yang mengajar Universitas Peking waktu itu, dalam suratnya kepada saya beliau menyatakan: "Anti China yang sering terjadi di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah kurangnya komunikasi". Oleh sebab itu, saya mulai menerjemahkan dua kumpulan puisi: "Puisi Cinta Mandarin" yang terdiri dari puisi-puisi dari daratan Tiongkok, Taiwan, Hongkong dan Singapura, dan "Bisikan Hati" karya Tio Un, seorang penyair Yin Hua. Ketika itu, suasana di tanah air demikian mencerkam dan tidak menentu.
Pada 22 Nopember 1997, dengan disponsori Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di mana saya bergabung, berhasil menyelenggarakan pelunucuran buku dan diskusi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin, Taman Mini Marzuki. Ini merupakan gebrakan pertama selama 30 tahun tidak ada kegiatan sastra Mandarin di Indonesia.
Waktu itu, KSI mengundang dua pembicara dari Universitas Indonesia (UI), yakni Iwan Fridolin MA dan Rahajeng Pulungsari MA. Keduanya adalah dosen jurusan Sastra China. Satu hal yang perlu dicatat ialah, walau yang hadir pada waktuitu cuma seratus orang lebih, namun merupakan kali pertama puisi Mandarin dibacakan di tempat umum dan waktu itu bahasa Mandarin masih dilarang.
Kurang dari setahun kemudian, 24 Oktober 1998, bertepatan dengan ulang tahun KSI yang ke-2, KSI bekerjasama dengan Komunitas Sastra Lintas Budaya; Kelompok Sastra Harian Indonesia (satu-satunya koran berbahasa Mandarin yang diizinkan pemerintah waktu itu yang memiliki rubrik sastra, sedangkan Perhimpunan Penulis Yin Hua belum berdiri) dan Lembaga Seni Budaya Ibu Pertiwi, menyelenggarakan acara peluncuran buku puisi terjemahan saya "Menyangga Dunia Di Atas Bulu Mata" edisi bahasa Indonesia.
Bersamaan dengan peluncuran buku itu, diadakan pula sebuah diskusi sastra. Pembicaranya adalah penyair papan atas serta Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Prof.Sapardi Djoko Damono; dan seorang dosesn Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Dr.Melani Budianta serta Viddy AD dari KSI. Hadir 200 lebih sastrawan Yin Hua dari Bandung. Beberapa media cetak memberitakan acara ini sehingga menimbulkan perhatian masyarakat.
Perlu disinggung, sebelum ini, kalangan masyarakat Indonesia umumnya dan sastrawan khususnya banyak yang tidak tahu bahwa walalupun dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan, toh masih banyak sastrawan dan penulis etnis Tionghoa yang kerap bertahan dan berkarya. Bahkan, di luar dugaan, dalam analogi puisi tersebut, banyak terdapat puisi-puisi dengan tema bersimpati pada lapisan bawah masyarakat Indonesia dan rakyat kecil. Selain itu, terdapat pula beberapa puisi dengan tema kecintaan mereka terhadap tanah air Indonesia. Dan ini menimbulkan reaksi positif dari kalangan sastrawan Indonesia. Inilah segi positif pertukaran budaya walaupun baru satu arah, sehingga diharapkan dapat meluruskan pandangan negatif dan suara sumbang terhadap kaum keturunan Tionghoa, dan mereka bukan semata-mata "hewan ekonomi" saja.
Saya sangat gembira dan terharu, setelah melalui upaya keras selama 2-3 tahun, akhirnya dapat mempertemukan sastrawan kedua belah pihak sehingga dapat saling bekenalan dan menjalin persahabatan dan upaya menjembatani mereka mulai nampak hasilnya.
Selanjutnya, setelah melalui kerja keras selama setahun, pada 30 Oktober 1999, bertepatan dengan ulang tahun KSI yang ke-3, sekali lagi saya meluncurkan buku karya terjemahan saya "Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua" dan kumpulan puisi tunggal "Rumah Panggung Di kampung Halaman" (dwi-bahasa). Saya mencoba merintis dengan terbitan dalam bahasa Mandarin, walau ketika itu larangan terhadap bahasa Mandarin belum resmi dicabut.
Kali ini, acara peluncuran buku dilakukan KSI bersama Perhimpunan Penulis Yin Hua (PPYH) yang baru resmi berdiri dengan beranggotakan hampir 100 orang dan kini sudah mencapai 200 anggota. Peserta yang hadir dari kedua belah pihak mencapai 300 orang lebih, termasuk rekan dari Bandung. Menurut beberapa kawan sastrawan Indonesia, jarang acara peluncuran buku yang pernah diadakan di TIM berlangsung begitu meriah.
Yang menjadi pembicara dalam diskusi sastra kali ini adalah kritikus sastra kondang Korrie Layun Rampan dan Dr.Melani Budianta yang pernah menimba ilmu di Amerika. Yang membuat acara ini lebih semarak adalah tampilnya seorang pelukis wanita kondang dari Bandung, Madam Chiang Yu Tie (81 tahun) yang memperagakan cara melukis gaya Tiongkok dan kaligrafi huruf kanji, serta pemain guzhen (semacam alat musik Tiongkok klasik yang panjangnya mencapai 1 1/2 meter) dari Bandung, Ms.Chen Suen Cui. Penampilan mereka mendapat sambutan hangat dan memberikan tontonan menarik bagi teman-teman dari etnis lain yang kebanyakan belum pernah menyaksikannya. Ini merupakan pertukaran budaya yang lain dari biasanya.
Perlu dicatat bahwa acara ini mendapat sukses besar. Hadir tamu-tamu kehormatan, antara lain, Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, Mr.Sun Jinhua; Ketua Persaudaraan Islam (KPI) Jawa Barat, Drs.H.Muhammad Amien dari Bandung; Ketua Yayasan Pantau SDM Hoa Sia, Prof.Dr.H.Usman Effendy; wakil dari PDS HB.Yassin, Drs.Endo Senggono; Ketua dari Oriental language & Cultural Centre, Bapak Sidarta W. Kusuma; novelis Titis Basino P.I. dan Penyair Eka Budianta dan Sides Sudyarto DS.