Minggu, 12 Februari 2017

Memesrakan Hubungan antar Etnis melalui Sastra

Penulis : Wilson Tjandinegara
Pertukaran sastra antar etnis Tionghoa dan etnis lain di Nusantara telah berlangsung sejak dahulu kala, dan ini merupakan fakta yang tak dapat kita pungkiri. Dalam tulisan ini, yang diutarakan adalah pertukaran budaya dalam beberapa tahun menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto.

Saya mulai masuk dunia sastra Indonesia pada awal tahun 1996 setelah mengundurkan diri dari dunia bisnis. Ketika itu, bahasa Mandarin masih dilarang, sedangkan Penulis  Yin-Hua (Tionghoa Indonesia) belum berdiri, dan para sastrawan keturunan Tionghoa masih dalam keadaan was-was dan bertindak hati-hati. 
Ketika itu, saya merasa perlunya memperkenalkan budaya Tionghoa kepada masyarakat Indonesia. Berhubung bidang saya adalah sastra dan budaya, sehingga saya memulai dengan menerjemahkan karya sastra. Teringat saya pada Prof.Zhou Nanjing, yang mengajar Universitas Peking waktu itu, dalam suratnya kepada saya beliau menyatakan: "Anti China yang sering terjadi di Indonesia, salah satu penyebabnya adalah kurangnya komunikasi". Oleh sebab itu, saya mulai menerjemahkan dua kumpulan puisi: "Puisi Cinta Mandarin" yang terdiri dari puisi-puisi dari daratan Tiongkok, Taiwan, Hongkong dan Singapura, dan "Bisikan Hati" karya Tio Un, seorang penyair  Yin Hua. Ketika itu, suasana di tanah air demikian mencerkam dan tidak menentu.

Pada 22 Nopember 1997, dengan disponsori Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di mana saya bergabung, berhasil menyelenggarakan pelunucuran buku dan diskusi sastra di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin, Taman Mini Marzuki. Ini merupakan gebrakan pertama selama 30 tahun tidak ada kegiatan sastra Mandarin di Indonesia.

Waktu itu, KSI mengundang dua pembicara dari Universitas Indonesia (UI), yakni Iwan Fridolin MA dan Rahajeng Pulungsari MA. Keduanya adalah dosen jurusan Sastra China. Satu hal yang perlu dicatat ialah, walau yang hadir pada waktuitu cuma seratus orang lebih, namun merupakan kali pertama puisi Mandarin dibacakan di tempat umum dan waktu itu bahasa Mandarin masih dilarang.

Kurang dari setahun kemudian, 24 Oktober 1998, bertepatan dengan ulang tahun KSI yang ke-2, KSI bekerjasama dengan Komunitas Sastra Lintas Budaya; Kelompok Sastra Harian Indonesia (satu-satunya koran berbahasa Mandarin yang diizinkan pemerintah waktu itu yang memiliki rubrik sastra, sedangkan Perhimpunan Penulis Yin Hua belum berdiri) dan Lembaga Seni Budaya Ibu Pertiwi, menyelenggarakan acara peluncuran buku puisi terjemahan saya "Menyangga Dunia Di Atas Bulu Mata" edisi bahasa Indonesia.

Bersamaan dengan peluncuran buku itu, diadakan pula sebuah diskusi sastra. Pembicaranya adalah penyair papan atas serta Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Prof.Sapardi Djoko Damono; dan seorang dosesn Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Dr.Melani Budianta serta Viddy AD dari KSI. Hadir 200 lebih sastrawan Yin Hua dari Bandung. Beberapa media cetak memberitakan acara ini sehingga menimbulkan perhatian masyarakat.

Perlu disinggung, sebelum ini, kalangan masyarakat Indonesia umumnya dan sastrawan khususnya banyak yang tidak tahu bahwa walalupun dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan, toh masih banyak sastrawan dan penulis etnis Tionghoa yang kerap bertahan dan berkarya. Bahkan, di luar dugaan, dalam analogi puisi tersebut, banyak terdapat puisi-puisi dengan tema bersimpati pada lapisan bawah masyarakat Indonesia dan rakyat kecil. Selain itu, terdapat pula beberapa puisi dengan tema kecintaan mereka terhadap tanah air Indonesia. Dan ini menimbulkan reaksi positif dari kalangan sastrawan Indonesia. Inilah segi positif pertukaran budaya walaupun baru satu arah, sehingga diharapkan dapat meluruskan pandangan negatif dan suara sumbang terhadap kaum keturunan Tionghoa, dan mereka bukan semata-mata "hewan ekonomi" saja.

Saya sangat gembira dan terharu, setelah melalui upaya keras selama 2-3 tahun, akhirnya dapat mempertemukan sastrawan kedua belah pihak sehingga dapat saling bekenalan dan menjalin persahabatan dan upaya menjembatani mereka mulai nampak hasilnya.

Selanjutnya, setelah melalui kerja keras selama setahun, pada 30 Oktober 1999, bertepatan dengan ulang tahun KSI yang ke-3, sekali lagi saya meluncurkan buku karya terjemahan saya "Kumpulan Cerpen Mini Yin Hua" dan kumpulan puisi tunggal "Rumah Panggung Di kampung Halaman" (dwi-bahasa). Saya mencoba merintis dengan terbitan dalam bahasa Mandarin, walau ketika itu larangan terhadap bahasa Mandarin belum resmi dicabut.

Kali ini, acara peluncuran buku dilakukan KSI bersama Perhimpunan Penulis Yin Hua (PPYH) yang baru resmi berdiri dengan beranggotakan hampir 100 orang dan kini sudah mencapai 200 anggota. Peserta yang hadir dari kedua belah pihak mencapai 300 orang lebih, termasuk rekan dari Bandung. Menurut beberapa kawan sastrawan Indonesia, jarang acara peluncuran buku yang pernah diadakan di TIM berlangsung begitu meriah.

Yang menjadi pembicara dalam diskusi sastra kali ini adalah kritikus sastra kondang Korrie Layun Rampan dan Dr.Melani Budianta yang pernah menimba  ilmu di Amerika. Yang membuat acara ini lebih semarak adalah tampilnya seorang pelukis wanita kondang dari Bandung, Madam Chiang Yu Tie (81 tahun) yang memperagakan cara melukis gaya Tiongkok dan kaligrafi huruf kanji, serta pemain guzhen (semacam alat musik Tiongkok klasik yang panjangnya mencapai 1 1/2 meter) dari Bandung, Ms.Chen Suen Cui. Penampilan mereka mendapat sambutan hangat dan memberikan tontonan menarik bagi teman-teman dari etnis lain yang kebanyakan belum pernah menyaksikannya. Ini merupakan pertukaran budaya yang lain dari biasanya.

Perlu dicatat bahwa acara ini mendapat sukses besar. Hadir tamu-tamu kehormatan, antara lain, Atase Kebudayaan dari Kedutaan Besar Republik Rakyat China di Jakarta, Mr.Sun Jinhua; Ketua Persaudaraan Islam (KPI) Jawa Barat, Drs.H.Muhammad Amien dari Bandung; Ketua Yayasan Pantau SDM Hoa Sia, Prof.Dr.H.Usman Effendy; wakil dari PDS HB.Yassin, Drs.Endo Senggono; Ketua dari Oriental language & Cultural Centre, Bapak Sidarta W. Kusuma; novelis Titis Basino P.I. dan Penyair Eka Budianta dan Sides Sudyarto DS.

Kamis, 13 Juni 2013

Sejarah Peh Cun di Tangerang - Provinsi Banten


Kronologi Peh Cun di Tangerang
Pada tahun 1900 Kapitan Oey Giok Koen menyumbangkan kepada Kelenteng Boen San Bio sepasang Perahu Naga, yaitu Naga Kuning dan Naga Merah. Tuan Tanah Kedaung juga turut menyumbangkan Perahu Papak Merah kepada Kelenteng Boen San Bio. Peristiwa ini terjadi ketika Kapitan Oey Giok Koen naik delman (kereta kuda) dan pada saat lewat di depan Kelenteng Boen San Bio ‘as’ kereta yang ditumpanginya patah, kemudian Kapitan Oey Giok Koen bersembahyang di Kelenteng Boen San Bio dan berjanji bila ia mempunyai anak laki-laki akan membuatkan sepasang Perahu Naga untuk Kelenteng Boen San Bio.
Lomba Perahu (Peh cun) di sungai Cisadane Kota Tangerang
Koleksi Foto Milik : Tan Sudemi

Kapitan Oey Giok Koen adalah salah satu pendiri Pendidikan Tionghoa Hwe Koan. Sekitar tahun 2008, komplek pemakaman Kapitan Oey Giok Koen bertempat di Priuk – Sangiang Kota Tangerang, dibongkar karena komplek pemakaman Kapitan Oey Giok Koen dijual oleh keturunannya dan sekarang menjadi perumahan Global Mansion, dikomplek ini yang hanya tersisa adalah sebuah kolam besar dan sangat disayangkan sebagian masyarakat Tionghoa Benteng kurang menaruh perhatian terhadap situs bersejarah yang menjadi jejak sejarah kerberadaan masyarakat Tionghoa di Tangerang. Di komplek pemakaman ini dapat diketemukan sejumlah relief maupun ukiran yang telah berusia ratusan tahun.


Makam Kapitan Oey Giok Koen di Priuk - Sangiang Kota Tangerang
Koleksi Foto Milik : Tan Sudemi

Relief di Komplek Makam Kapitan Oey Giok Koen
Koleksi Foto Milik : Tan Sudemi


Ukiran Kilin di Komplek Makam Kapitan Oey Giok Koen
Koleksi Foto Milik : Tan Sudemi

Kapitan Oey Khe Tay membuat Perahu Papak Hijau pada tahun 1900 dan dua tahun kemudian yaitu tahun 1902, hartawan dan para dermawan dari tiga gang (jalan) di depan Kelenteng Boen Tek Bio, yaitu Gang Kalipasir, Gang Tengah (Cilangkap) dan Gang Gula (Cirarab) membuat Perahu Papak Merah untuk disumbangkan kepada Kelenteng Boen Tek Bio.

Perayaan Peh cun sendiri di Tangerang diperkirakan mulai dilaksanakan sejak tahun 1910. Hal ini karena di Jakarta, sungai-sungai sudah menjadi dangkal sehingga perayaan Peh cun dipindahkan ke Tangerang. Dengan sungai Cisadanenya yang cukup luas, maka Tangerang memenuhi syarat untuk melaksanakan perayaan Peh cun.

Pada perayaan Peh cun tahun 1911, menurut cerita, pada saat perlombaan Perahu Papak Hijau dan Merah ada ‘getek’ (rakit) yang melintang, malang di tengah sungai, sehingga Perahu Papak Hijau melompat dan persis jatuh diatas getek yang melintang itu. Hal ini mengakibatkan Perahu Papak Hijau patah ditengah (patah pinggang).

Perahu Papak Hijau yang patah itu kemudian disimpan di tempat Bapak Lim Tiang Tiang di Karawaci dan dijadikan satu dengan keramat yang sudah ada. Pada tahun 1912 Perkumpulan Boen Tek Bio membuat Perahu Papak Merah yang baru dibawah pengawasan Bapak Lim Hok Tjiang selaku sekretaris Perkumpulan Boen Tek Bio.

Pada tahun 1938 ada juga Perayaan Peh cun yang dirayakan pada tanggal 7-8 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Cit – Ce Pe). Pada perayaan ini dibuatlah sepasang Perahu Naga oleh Bapak Lim Tiang Hoat di daerah Kedaung Barat. Namun pada tahun 1942 ketika Jepang datang ke Indonesia, Perahu Naga itu dibakar.

Perlu diketahui juga dimulainya Perayaan Peh cun di Tangerang ini dikoordinir oleh Perkumpulan Boen Tek Bio, namun sayang pada tahun 1964 Perayaan ini berakhir. Sekian tahun telah berlalu, kemudian Pemerintah Kota Tangerang mengangkat kembali tradisi Peh cun di Tangerang sejak tahun 2000 yang terus berlanjut hingga sekarang.

Kronologi Empe Peh cun
Diperkirakan pada tahun 1850 nenek buyut dari Bapak Rudi A.Kuhu mengambil sepotong kayu yang lewat di Sungai Cisadane, pada masa itu orang-orang masih memasak dengan menggunakan kayu bakar. Setelah beberapa hari kemudian, sewaktu potongan itu dijemur, nenek buyut Bapak Rudi A. Kuhu bermimpi bahwa potongan kayu tersebut minta untuk ‘dirawat’, sehingga dibuatkanlah sebuah gubug (rumah dari tiang bambu yang menggunakan atap rumbai) untuk menyimpan potongan kayu tersebut.
Pada tahun 1911, Perahu Papak Hijau yang patah ditengah dalam perlombaan Peh cun diletakkan pula di tempat keramat tersebut yang sekarang ini dikenal dengan sebutan Empe Peh cun.
Bio Empe Peh cun di Karawaci Kota Tangerang
Koleksi Foto Milik : Tan Sudemi


Peh cun di Kedaung Barat 
 Diperkirakan pada tahun 1938 atas usaha dari para penduduk di Kedaung Barat, Kampung Kelor yang dikepalai oleh mendiang Bapak Lim Tiang Hoat, telah membuat dua buah perahu Liong untuk turut merayakan Peh cun di tempatnya sendiri, dimulai dari tanggal 7-8 bulan 5 penanggalan Imlek (Go Gwee Ce Cit-Ce Pe). Meskipun keramaiannya tidak dapat dibandingkan dengan keramaian di Tangerang yang menjadi pusatnya, namun meraka telah menunjukkan bahwa di desa itu pun ada persatuan dan semangat Peh  cun. Namun sayang sekali, usaha itu tidak berjalan lama, karena pecahnya Perang Dunia Ke-II, dimana waktu itu terjadi kerusuhan yang mengakibatkan Sepasang Perahu Liong Peh cun di Kedaung Barat habis terbakar. Hal ini sungguh disayangkan.